Senin, 08 Juni 2015

BAB II

ISI

dalam menghadapi pernikahan bukan suatu yg mudah bagi kedua calon pasangan karena akan banyak rintangan dan kendala yang akan dihadapi berdua. dalam tahap persiapan pernikahan berarti ada pembinaan hubungan sosial yang romantis dan harmonis yang akan dijalani oleh dua orang yang berlainan jenis. banyak diantara pasangan yang dibelakang hari baru menyadari bahwa pasangannya hanya sebagai pasangan yang tepat untuk menjadi teman bicara, tetapi bukan teman hidupnya.
dua orang ke dalam satu ikatan yang tak terpisahkan. suatu perkawinan menjadi kuat ketika dilandasi cinta. perkawinan harus memiliki passionate love dan companiate love. cinta yang pertama berisikan reaksi emosional kepada pasangan yang enuh gelora dan gaira. adapun cinta yang ke-2 berisikan kasih sayang yang dirasakan pasangan kepada orang yang dicintainya. cinta yg pertama melibatkan emosi, sedangkan cinta ke-2 melibatkan rasa percaya, sayang, dan toleransi pada segala kekurangan pasangan :)
pada masa pacaran dan awal perkawinan, biasanya cinta lebih didominasi passionate love yang menggebu-gebu dan diwarnai sikap posesif terhadap pasangan. adapun companiate love berkembang secara perlahan-lahan dan berubah menjadi perkawinan yang bahagia saat masing2 pasangan telah merasa bahwa pasangan merupakan teman yang sangat dibutuhkan dalam segala situasi dan keberadaannya, baik secara fisik maupun psikologis.
oleh karena itu, cinta yang dimaksudkan dalam perkawinan ialah cinta yang mengandung hubungan interpesonal yang intim (perasaan dekat, enak, nyaman dan hangat), jujur, passion (gairah, romantis, rasa ketertarikan secara fisik dan seksual), dan commitment (komitmen). 

Perkawinan adalah suatu penyatuan jiwa dan raga dua manusia yang berlawanan jenis dalam suatu ikatan suci dan mulia di bawah lindungan hukum dan Tuhan Yang Maha Esa.Perkawinan sepasang mempelai yang dipertemukan secara formal di hadapan penghulu/kepala agama, para saksi dan sejumlah hadirin yang disahkan secara resmi sebagai suami isteri dengan upacara ritual tertentu. 
Pengertian Perkawinan Menurut UU no 1 Tahun 1974 adalah :
1.      Ikatan Lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) Yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan YME.
2.      Suatu peristiwa sepasang mempelai atau sepasang calon suami istri yang di pertemukan secara formal dihadapan penghulu/kepala agama tertentu ,dihadiri oleh para saksi dn sejumlah hadirin untuk di syahkan secara resmi sebagai suami istri dengan upacara dan ritus-ritus tertentu.

secara ilmu psikologis perkawinan merupakan panggilan dan kebutuhan psikologi karena didalamnya terkandung cinta sekaligus tanggung jawab yang terikat dalam hukum agama, negara dan sosial yang membentuk hubungan kekerabatan dalam pranata budayanya. jadi, dalam perkawinan ada unsur legalitas penyatuan antara laki-laki dan perempuan. dengan demikian, perkawinana merupakan penyatuan antara dua mitra yang memiliki obligasi berdasarkan pada kesamaan minat pribadi dan kegairahan yah guys ;)

2.2.          Tipe-tipe perkawinan

2.2.1.      Perkawinn Periodik / Term Periodik 
Term marriage atau perkawinan periodik yaitu dengan merencanakan suatu kontrak dengan alasan perkawinan harus dicoba terlebih dahulu beberapa bulan dan jika tidak cocok dapat segera berpisah. Kontrak tahap 1 yaitu 3-5 tahun, kontrak tahap 2 adalah 10 tahun, dan sampai pada kontrak tahap 3 yaitu saling memiliki. 
2.2.2.      Trial Marriage 
Trial marriage atau kawin percobaan dengan ide melandaskan argumentasinya. Bahwa dua orang akan saling melibatkan diri dalam suatu relasi yang sangat intim dan mencobanya terlebih dahulu selama satu periode tertentu. Jika dalam periode tersebut kedua belah pihak bisa saling bersesuaian barulah dilakukan ikatan perkawinan yang permanen. 
2.2.3.      Poligami 
Poligami merupakan suatu perkawinan dimana seorang suami mempunyai lebih dari satu isteri, ada banyak alasan pria menjalankan bentuk perkawinan ini, antara lain anak, jenis kelamin anak, ekonomis, status sosial dan lain-lain. 
2.2.4.      Perkawinan Eugenis 
Perkawinan eugenis adalah perkawinan untuk memperbaiki keturunan.Suatu bentuk perkawinan untuk perkawinan untuk memperbaiki/memuliakan ras. 

2.3.           Alasan/motivasi perkawinan

2.3.1.      Distimulus oleh dorongan-dorongan romantis(kebutuhan biologis)
sebenarnya sejak lahir manusia sudah memiliki kebutuhan (dorongan) biologis, yang dimulai dari kebutuhan seks oral saat bayi mengisap puting susu ibunya. seiring pertambahan usia, kebutuhan biologis seksual manusia terus mengalami perubahan. secara alami hal ini bisa saja terjadi pada setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan. pada pria terjadi saat testis sudah mampu memproduksi sperma dan pada wanita terjadi pada saat kandungannya sudah mampu memproduksi sel telur. libido yang muncul secara alami perlu memdapat penyaluran yang sehat melalui suatu perkawinan.
2.3.2.      Ambisi untuk mencapai status sosial tinggi;
2.3.3.      Keinginan untuk mendapatkan jaminan/asuransi hidup di masa tua;
2.3.4.      Keinginan untuk mendapatkan kepuasan seksual dengan pasangannya.
2.3.5.      Hasrat untuk melepaskan diri dari belenggu atau kungkungan orang tua/keluarga; 
2.3.6.      Dorongan cinta terhadap anak dan ingin mempunyai anak;
2.3.7.      Keinginan untuk mengabadikan nama leluhur

2.4.          Kesulitan-kesulitan dalam penyesuaian perkawinan

Masalah penyesuaian yang paling pokok yang pertama kali dihadapi oleh keluarga baru adalah penyesuaian terhadap pasangannya (istri atau suaminya).
Dalam penyesuain ini yang paling baik adalah kesanggupan dan kemampuan sang suami dan istri untuk berhubungan dengan mesra dan saling memberi dan menerima cinta.
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian terhadap pasangan :
  • Konsep pasangan yang ideal
  • Pemenuhan kebutuhan
  • Kesamaan latar belakang
  • Minat dan kepentingan bersama
  • Keserupaan nilai
  • Konsep
  • Penyesuaian Seksual
Masalah ini merupakan salah satu masalah yang paling sulit dalam perkawinan dan salah satu penyebab yang mengakibatkan pertengkaran dan ketidakbahagiaan perkawinan apabila kesepakatan ini tidak dapat dicapai dalam kepuasan.

2.4.1.      Persiapan yang terbatas untuk perkawinan 
Walaupun dalam kenyataan sekarang, penyesuaian seksual lebih mudah karena banyak informasi tentang seks yang tersedia.Akan tetapi kebanyakan pasangan suami istri hanya menerima sedikit persiapan dibidang keterampilan domestik, mengasuh anak, dan manajemen umum. 
2.4.2.      Peran dalam perkawinan 
Perubahan peran dan konsep yang berbeda yang dianut kelas sosial dan sekelompok religius yang berbeda, membuat penyesuaian dalam perkawinan semakin sulit. 

2.4.3.      Kawin Muda 
Perkawinan bagi usia muda membuat mereka tidak mempunyai kesempatan untuk mempunyai pengalaman yang dipunyai oleh teman-teman yang belum kawin atau orang-orang yang telah mandiri sebelum kawin. Hal ini mengakibatkan sikap iri hati dan menjadi halangan bagi penyesuaian perkawinan. 

2.4.4.      Konsep yang tidak realistis tentang perkawinan 
Konsep yang tidak realistis cenderung terjadi pada orang dewasa yang bekerja di sekolah ataupun perguruan tinggi, dengan sedikit pengalaman kerja.Tentang makna perkawinan berkenaan dengan pekerjaan, pembelanjaan uang atau perubahan dalam pola hidup.Pendekatan yang tidak realistis ini menuju ke arah kesulitan penyesuaian yang serius yang sering diakhiri dengan perceraian. 

2.4.5.      Perkawinan Campur 
Penyesuaian terhadap kedudukan sebagai orang tua dan dengan para saudara dari pihak isteri dan sebaliknya jauh lebih sulit dalam perkawinan antar agama daripada jika kedua berasal dari latar belakang budaya yang sama.

2.4.6.      Pacaran yang dipersingkat 
Lama pacaran pada masa sekarang lebih singkat ketimbang pada masa dahulu, dan karena itu pasangan hanya memiliki sedikit waktu untuk memecahkan masalah tentang penyesuaian sebelum mereka menikah. melangsungkan perkawinan.

2.4.7.      Konsep Perkawinan yang Romantis
Banyak orang dewasa yang mempunyai,konsep perkawinan yang romantis yang berkembang pada masa remaja.Harapan yang berlebihan tentang tujuan dan hasil perkawinan sering membawa kekecewaan yang menambah kesulitan penyesuaian terhadap tugas dan tanggung jawab perkawinan.

2.4.8.      Kurangnya identitas
Apabila seseorang merasa bahwa keluarga,teman dan rekannya memperlakukannya sebagai “suami jane” atau apabila wanita merasa bahwa kelompok sosial menganggap dirinya hanya sebagai “ibu rumah tangga”, walaupun dia seorang wanita karir yang berhasil, ia bisa saja kehilangan identitas diri sebagai individu yang sangat dijunjung dan dinilai tinggi sebelum perkawinan.

2.5.          Gangguan psikologi pada perkawinan


Pada saat perkawinan terdapat banyak sekali gangguan-gangguan terutama dari segi gangguan psikologis, gangguan tersebut diantaranya adalah: 

2.5.1.      Ketegangan dan kecemasan pada saat perkawinan
2.5.2.      Kejenuhan dalam perkawinan terjadi karena seseorang cenderung melakukan rutinitas yang sama. 
2.5.3.      Ketidak puasan terhadap pasangannya 
2.5.4.      Merasa aktivitasnya terbatasi oleh perkawinan sehingga akan menimbulkan perasaan tertekan.

Menurut Whiteman, Verghese, dan Petersen (1996) ada beberapa hal yang harus dipahami pasangan suami-istri agar mereka dapat mengelola hubungan mereka dengan baik, bahkan ketika mereka mengalami stres. 
2.5.5.      Perbedaan latar belakang 
Perbedaan latar belakang dapat menimbulkan konflik dalam hubungan perkawinan.Misalnya seorang suami yang berharap istrinya tinggal dirumah dan memasak sendiri karena ibunya dulu melakukan hal itu, sementara istri tetap ingin berkarier karena ibunya dulu juga demikian.Perbedaan tersebut dapat menimbulkan masalah jika keduanya tidak berkompromi dengan kepala dingin. 

2.5.6.      Perbedaan gaya atau sifat 
Pasangan suami dan istri perlu memahami gaya dan sifat masing-masing serta belajar menerima. Adanya usaha mengubah sifat pasangan justru akan menimbulkan perlawanan dari pasangan dan tentunya dapat memperberat stres dalam hubungan mereka. 

2.5.7.      Perbedaan harapan/impian 
Kita menyimpan banyak energi mental dan emosional pada harapan kita, kita harus bisa menyesuaikan satu sama lain, mencari titik temu dari perbedaan harapan karena ini merupakan bagian konflik lain dalam perkawinan. 

2.5.8.      Kekecewaan 
Ketika kita menikah dan kemudian pasangan kita berubah, hal tersebut dapat menyenangkan, tetapi bisa juga mengecewakan kita. Sebelum menikah, pasangan hanya menampilkan sisi-sisi positifnya saja, tetapi begitu pesta usai mereka kembali pada sisi aslinya.Ini semua dapat menimbulkan kekecewaan bagi pasangan.

2.5.9.      Perebutan kuasa 
Perebutan kuasa tidak selalu buruk bila pasangan melakukan pertukaran pendapat yang berbeda secara adil dan tidak menimbulkan rasa kalah yang mendalam pada pasangan.Apakah pertukaran yang terjadi sesuai atau tidak dengan harapan pasangan, tetap ada potensi untuk
munculnya stres.Hubungan terbaik adalah bukannya tak ada konflik, tetapi bagaimana kita dapat
mengelola konflik secara baik.

2.5.10.  Kekhawatiran kehilangan pasangan 
Kecurigaan seorang isrtri yang cemas suaminya tidak perhatian lagi akan membuat suami semakin menjauh dan membuat istri makin panik merasa putus asa. Semua ini merupakan bagian dari stres yang biasanya muncul dari dalam diri.Tidak tampil dalam bentuk pertengkaran, tetapi mengganggu perasaan setiap pasangan perkawinan.Menghadapi berbagai aspek stres interpersonal ini penting bagi pasangan untuk terus mengupayakan komunikasi terbuka dan efektif.

2.6.          Cara mengatasi kesulitan dalam perkawinan


2.6.1.      Menghadapi kenyataan 
Suami isteri perlu menghadapi kenyataan hidup dari semua yang terungkap dan tersingkap. 
2.6.2.      Penyesuian timbal balik perlu usaha terus menerus dengan saling memperhatikan, saling mengungkapkan dengan tulus, menunjukkan pengertian, penghargaan dan saling memberi dukungan serta semangat. 
2.6.3.      Menciptakan suasana baik yang dilatarbelakangi oleh pikiran-pikiran, perbuatan dan tindakan yang penuh kasih sayang. 
2.6.4.      Komunikasi yang baik dengan membina dan memelihara komunikasi di dalam keluarga dan dengan masyarakat di luar keluarga.

Kriteria Keberhasilan Penyesuaian Perkawinan
3.        Kebahagiaan suami-istri
4.        Hubungan yang baik antara orang tua dan anak
5.        Penyesuaian yang baik dari anak-anak
6.        Kemampuan untuk memperoleh kepuasan dari perbedaan pendapat
7.        Kebersamaan
8.        Penyesuaian yang baik dalam masalah keuangan
9.        Penyesuaian yang baik dari pihak keluarga pasangan

9.5.          Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian seksual

9.5.1.      Perilaku terhadap Seks
Sikap terhadap seks sangat dipengaruhi oleh cara laki-laki dan perempuan menerima informasi seks selama masa anak-anak dan remaja.Sekali perilaku yang tidak menyenangkan dikembangkan maka akan sulit sekali untuk dihilangkan.
9.5.2.      Pengalaman Seks Masa Lalu
Cara orang dewasa dan temen sebaya bereaksi terhadap masturbasi,petting dan hubungan suami isteri sebelum menikah,ketika mereka masih muda dan cara laki-laki dan perempuan merasakan itu sangat mempengaruhi perilaku mereka terhadap seks.Apabila pengalaman awal seorang perempuan tentang petting tidak meyenanagkan.hal ini akan mewarnai sikapnya terhadap seks.

9.5.3.      Dorongan Seksual
Dorongan seksual berkembang lebih awal pada laki-laki daripada perempuan cenderung tetap demikian,sedangkan pada perempuan timbul secara periodik dan turun naik selama siklus menstruasi.Variasi ini mempengaruhi minat dan kenikmatan akan seks yang kemudian akan mempengaruhi penyesuaian seksual.
9.5.4.       Pengalaman Seks Marital Awal
Kepercayaan bahwa hubungan seksual menimbulkan keadaan ekstasi yang tidak sejajar dengan pengalaman lain.Hal ini menyebabakan banyak orang dewasa muda merasa begitu pahit dan susah sehingga penyesuaian seksual sulit atau tidak mungkin dilakukan.

9.5.5.      Sikap Terhadap Penggunaan Alat Kontrasepsi
Konflik dan ketegangan akan lebih sedikit terjadi jika suami atau isteri setuju menggunakan alat pencegah kehamilan,dibandingkan jika antara keduanya mempunyai sikap yang berbeda tentang alat kontrasepsi.

9.5.6.      Efek Vasektomi
Apabila seseorang menjalani operasi vasektomi maka akan hilang ketakutannya akan kehamilan yang tidak diinginkan.Vasektomi mempunyai efek yang positif bagi perempuan tentang penyesuaian seksual,tetapi membuat laki-laki mempertanyakan kelelakiannya.

9.6.          Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri dengan pihak keluarga pasangan


9.6.1.      einginan untuk mandiri
Orang yang menikah muda cenderung menolak berbagai saran dan petunjuk dari orang tua mereka,walaupun mereka menerima bantuan keuangan, dan khususnya mereka menolak campur tangan dari keluarga pasangannya.

9.6.2.      Keluargaisme
Penyesuaian dalam perkawinan akan lebih pelik apabila salah satu pasangan tersebut menggunakan waktu lebih banyak untuk keluarga dari pada yang mereka sendiri inginkan.

2.9.          Konseling perkawinan


2.9.1.      Tujuan Konseling Perkawinan
Konseling perkawinan dilaksanakan tidak bermaksud untuk mempertahankan suatu keluarga.Konselor berpandangan bahwa dirinya tidak memiliki hak untuk memutuskan cerai atau tidak sebagai solusi terhadap masalah yang dihadapi pasangan.Konseling perkawinan dimaksudkakan membantu klien untuk mengaktualkan diri yang menjadi perhatian pribadi.

2.9.2.      Tipe-tipe Konseling Perkawinan
*      Concurent marital counseling
Konseling dilakukan secara terpisah.metode ini digunakan bila salah seorang partner memiliki masalah psikis tertentu untuk dipecahkan tersendiri selain juga mengatasi masalah yang berhubungan dengan pasangannya.
*      Collaborative marital counseling
Setiap partner secara individual menjumpai konselor yang berbeda.
*      Conjoint marital conseling
Suami isteri datang bersama-sama ke seorang atau beberapa orang konselor.
*      Couples group counseling
Beberapa pasangan secara bersama-sama datang ke seseorang atau beberapa prang konselor.

2.9.3.      Peran Konselor
*        Menciptakan hubungan baik
*        Memberi kesempatan klien untuk melakukan ventilasi,yaitu membuka perasaannya secara leluasa dihadapan pasangannya.
*        Memberi dorongan dan penerimaan terhadap klien
*        Melakukan diagnosis/penemuan masalah
*        Membantu klien mencari kemungkinan alternatif menentukan tindakan.

Upaya yang dilakukan bidan dalam mengupayakan penyelasaian konflik perkawinan yang terjadi yaitu :
  1. Bidan sebagai penyuluh dan pemberi motivasi. Jika ada masalah sekecil apapun yang terjadi dalam rumah tangga harus dikomunikasikan antara pasangan sehingga tidak terjadi kesalah pahaman yang mengganggu keutuhan rumah tangga.
  2. Mempersiapkan kedua belah pihak untuk menjadi orangtua dengan memberikan kasih sayang keperawatan dan pendidikan yang terbaik.
  3. Jika sebelum menikah belum di imunisasi TT, sebaiknya segera oimunisasi TT agar anaknya nanti tidak terkena penyakit tetanus.

  1. Sebaiknya pasangan yang sudah mempunyai satu anak, sebaiknya melakukan KB untuk mengatur jarak kelahiran.
  2. Tetap memberika pelayanan tanpa pandang status dari perkawinannya apabila klien di wilayahnya tersebut diberi motivasi UU Perkawinan belum bisa menerima.

STUDI KASUS:
Seorang wanita melakukan pernikahan sirih dengan seorang pengusaha yang sudah memiliki istri dan anak, pertemuan keduanya cukup singkat dan mereka langsung melakukan perkawinan, dlm kondisi tersebut perempuan tidak mengetahui status sebenarnya dari laki-laki tersebut. Istri sah suami belum mengetahui perkawinan yang dilakukan suaminya, saat awal perkawinannya pasangan tersebut tidak mempunyai konflik serius, tiba saat wanita tersebut tengah mengandung usia kehamilannya yang memasuki 4 minggu, istri sah dari laki-laki tersebut mengetahui perkawinan sirih yang dilakukan suaminya, lalu pada akhirnya laki-laki itu memilih untuk meninggalkan istri sirihnya. Perempuan tersebut sangat terpukul dan mencari kejelasan statusnya atau pengakuan dari pihak laki-laki, dengan kondisi dimana perempuan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum pada status perkawinannya, alhasil sangat berdampak pada tekanan mental yg dihadapi, sampai suatu ketika dia datang bersama ibunya ke tempat bidan untuk melakukan pengguguran kandungan.

BAB III

PENUTUP


3.1.            Kesimpulan

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal sebagai bentuk ibadah kepada Tuhan Yang Maha Esa dan diperlukan persiapan fisik dan mental untuk melaksanakannya.

3.2.            Saran

Dalam hal ini diperlukan peran bidan dalam mengupayakan penyelesaian konflik perkawinan yang terjadi. Dalam memberikan pelayanan maupun penyuluhan akan masalah perkawinan, bidan sebaiknya tidak membeda-bedakan status sosial, pendidikan, ekonomi kliennya sehingga semua masalah perkawinan dapat terselesaikan dan tidak mengakibatkan peningkatan angka perceraian.


3 komentar:

Design by Kesehatan Kita |Theme by Abank Jack